Akhirnya jari-jariku sedikit bisa
dilemaskan, jarum yang aku pegang terjatuh. Kakiku mulai bergetar. Melihat di
depanku ada dua sosok tubuh yang tak bergerak. Aku bingung, aku ingin lari.
Tetapi aku begitu takut dengan kematian. Aku takut nafsu membunuh Andi muncul
lagi ketika melihatku mendadak berlari mendobrak pintu ruangan ini.
“Di mana Rina dan Kevin?” Aku masih memikirkan mereka berdua. Aku
sangat khawatir dengan nasib mereka. Aku kepikiran dengan ancaman Andi. Apakah
mereka berdua mencoba melarikan diri? Apakah mereka berhasil melarikan diri?
Atau mereka sudah tergeletak tak berdaya atau bahkan tak bernyawa?
“Aku juga tidak tahu. Yang pasti jika mereka tidak kembali berarti
mereka melanggar permainan ini” Andi berjalan mendekatiku. Di balik topeng
itu membuat Andi menjadi sosok yang terlihat lebih kejam dari pada sebelumnya.
Aku hanya diam. Tak berani
menanyakan lebih lanjut keberadaan Rina dan Kevin. Posisiku sekarang terlalu
lemah dan bingung. Untuk menolong diriku sendiri saja aku tak bisa apa lagi
untuk membantu Rina dan Kevin. Aku hanya berdoa dalam hati, semoga mereka
baik-baik saja.
“Duduklah sini, mereka belum mati, mereka hanya pingsan. Kita tunggu
mereka sampai bangun” Andi duduk di salah satu bangku. Dan mengajakku duduk
di sampingnya, menunggu orang yang pingsan tanpa berbuat apa-apa. Ini kejam.
Aku duduk di samping Andi. Aku
buka topengku, tetapi Andi tidak setuju. Aku dipaksa untuk memakainya lagi. Dia
memberi alasan jika mereka tiba-tiba bangun, Andi tak ingin mereka mengenaliku.
Aku menurut saja kata Andi karena semua kendali situasi ini seperti di tangan
Andi. Bernafas menggunakan topeng membuatku tambah sesak. Udara di dalam
ruangan juga sangat panas. Keringat bercampur darah membasahi bajuku.
Tiba-tiba aku menoleh ke arah
Andi. Dia menangis sesenggukan. Hal yang terjadi di tangga lantai satu terulang
kembali, Andi menangis dan tak berkata apa-apa. Aku tanyakan pertanyaan yang
sama seperti di tangga lantai satu. Dia tak menjawab, hanya terus menangis. Air
matanya membasahi topeng kertas itu.
“Aku pembunuh, tapi bukan mauku. Aku gagal meyakinkan mereka. Aku gagal
membuat kalian semua aman” Andi berbicara dalam tangisnya. Tapi tetap saja
aku tak paham apa yang sedang dia bicarakan. Seperti halnya sewaktu di lantai
satu, dia berbicara ngelantur tanpa makna. Yang terdengar hanyalah ungkapan
penyesalan. Aku berpikir keras, otakku dipaksa semalaman terbiasa dengan banyak
teka-teki. Aku mencari benang merah dari semua yang dibicarakan Andi.
“Ayo paksa mereka bangun. Masih banyak tugas yang harus kita
selesaikan” Tiba-tiba tangisnya berhenti. Aku seperti melihat dua sisi Andi
yang berbeda. Terkadang dia menjadi sosok yang kejam dan bengis, tetapi dalam
hitungan detik dia bisa berubah menjadi sosok yang sangat lemah dan sangat
mudah menangis.
Andi berdiri menuju meja di
depan. Yang tersisa Cuma tinggal boneka dan dua botol air. Andi mengambil dua
botol air itu dan membawanya ke tempatku duduk.
“Ini air apa?” Aku bertanya ke Andi, menanyakan isi air dalam botol
ini. Aku takut botol ini berisi racun yang harus aku minum. Kalau pun Andi
mengatakan isi botol ini bukan racun dan harus aku minum, aku akan memilih
mendobrak pintu ruangan ini dan berlari secepat mungkin. Karena aku akan
memilih mati dalam usaha dari pada mati konyol karena menuruti orang yang tak
aku kenal lagi.
“Ini air garam, bantu aku mengguyur mereka dengan air ini. Tanganmu
sepertinya juga kuat untuk memukuli mereka” Andi sudah benar-benar gila!
Aku dipaksa dia untuk memukuli Toni dan mengguyurkan air garam ini.
“Sudah cukup! Kalau kamu mau menyiksa mereka lakukan sendiri! Aku nggak
mau jadi goblok dan jadi tak tau belas kasihan gara-gara permainanmu!” Aku
melawan dan menolak. Aku berdiri dan aku serahkan lagi botol yang sudah
diberikan kepadaku.
“Jadi kamu mau permainan ini tak pernah selesai? Kamu mau semua ini
sia-sia? Aku kira kamu akan lebih berani dari Rina dan Kevin” Andi kecewa
karena aku melawan.
“IYA AKU MEMANG PEMBERANI DARI KAMU! AKU LEBIH BERANI DARI KAMU KARENA
AKU LEBIH BISA BERPIKIR LAYAKNYA ORANG NORMAL DARI PADA KAMU!” Mendadak
keberanianku bertambah 1000 kali lipat. Aku berlari ke arah pintu dan aku
dobrak pintu kayu tersebut. Pintu itu berhasil aku dobrak, mungkin kali ini
keberuntungan berpihak kepadaku.
Aku sempat terjatuh setelah
mendobrak, aku langsung berdiri, rasa sakitnya tak aku rasakan. Aku lebih
merasakan andrenalin yang terpompa sangat kencang dan hanya mau menuruti kaki
yang ingin berlari. Tapi aneh, aku menengok ke belakang tetapi Andi tak
mengejarku sama sekali. Dia seperti kehilangan hawa membunuhnya. Aku menuruni
tangga lantai dua, berharap setiap langkahku tepat agar aku tak terjatuh.
Tiba-tiba dari lantai dua terdengar suara teriakan “LARI!!!” suara itu suara Andi. Waktu seperti berjalan lambat,
penyebabnya adalah otakku berusaha keras merangkai setiap omongan ketika Andi
menangis. Dia begitu menyesal sewaktu menangis, dia seperti sudah berusaha
semaksimal mungkin agar semua kegilaan ini tidak menimpa Aku, Rina, dan Kevin.
Belum sempat aku menemukan jawabannya, pintu depan gedung ini sudah terlihat.
Aku berhenti tepat di depan pintu tersebut dan ternyata tidak terkunci. Setelah
berhasil keluar dari gedung pepustakaan, aku melanjutkan berlari. Pikiran pertama
adalah menuju aula karena di sanalah para senior berkumpul. Aku akan meminta
pertolongan mereka.
Sesampainya di depan aula dengan
pintu yang terbuka lebar aku melihat ada beberapa orang di sana. Aku masuk ke
dalamnya dan teriakan wanita memanggil namaku dengan histeris. Aku melihat
wanita itu berlari menghampiriku, ternyata dia Rina. Aku peluk dia dalam
tangisan, begitu juga Rina. Di saat aku berpelukan dengan Rina, ada dua orang
yang menghampiri. Dia Mas Robet dan Kevin. Aku dibawa ke depan aula bersama
mereka, memberiku air putih supaya tenang, membiarkanku bernafas dan menunggu
aku bercerita apa yang terjadi.
“Aku ngga mau ke sana lagi, Andi menyiksa Mas Rio dan Mas Toni” Aku
tak bisa menjelaskan dengan detail, nafasku masih berat untuk bercerita panjang.
“Tenangin dirimu sendiri dulu Mer, Rina dan Kevin sudah menceritakan
apa yang terjadi di sana. Kita sudah membuat rencana untuk menyelamatkanmu.
Tapi syukurlah kamu bisa meloloskan diri” Jawab Mas Robet mencoba
menenangkan dan menjelaskan.
“Iya mas, Ayo kita panggil yang lain. Kita panggil senior yang lain”
Ajakku agar kita tidak hanya berempat menuju gedung perpustakaan.
“Kamu ngga akan percaya Mer. Mendadak semua orang yang ada di kampus
ini nggak bisa ngeliat kita” Muka Mas Robet terlihat lelah, begitu juga
Rina dan Kevin. Hal ini mengingatkanku akan kejadian yang pernah aku alami
sebelumnya. Di mana berkali-kali aku terjebak di dimensi yang berbeda tetapi
dengan setingan tempat yang sama. Waktu itu tidak ada seorang pun yang mampu
melihatku apa lagi mendengarku. Apa sekarang kita berempat sedang terjebak di
hal yang sama?
“Sebelum kamu datang, kita sudah berkeliling mencari bantuan. Tetapi
percuma orang-orang nggak ada yang bisa melihat kita” Kevin ikut berbicara.
Muka gugup dan panik terlihat jelas di wajah Kevin.
“Oke, aku pernah mengalami hal seperti ini. Aku pernah di posisi
orang-orang tak mampu mendengarku bahkan melihatku. Dan parahnya lagi aku
menyaksikan kejadian-kejadian yang nggak ingin aku lihat. Aku pernah melihat
mahasiswa baru tiba-tiba menghilang di ruangan lantai dua gedung perpustakaan,
aku pernah melihat sosok menyeramkan yang tiba-tiba muncul di depan mataku, dan
aku pernah melihat Mas Robet dipukuli hingga tak berdaya kemudian di hadapannya
Yesa diperkosa secara bergantian” Air mataku jatuh lagi, hal-hal
menyeramkan itu membuat dada ini sesak. Tampak Mas Robet kebingungan dengan apa
yang aku bicarakan.
“Kamu tenang dulu. Kita di sini semua takut, itu pasti. Aku dari tadi juga
berusaha mencari kalian tapi ada sesuatu yang membuatku hanya berputar-putar di
sini. Iya aku terjebak di sini. Tapi di sana masih ada Andi dan kedua temanku.
Bagaimana pun keadaan mereka kita harus menyelamatkan mereka. Walau kita hanya
bersenjata keberanian tapi kita harus yakin untuk menyelesaikan ini. Ini semua
permainan, kita peserta, dan setiap permainan pasti ada akhirnya” Mas Robet
mendekatiku yang terus menundukan kepala karena air mata ini terasa berat.
Setelah aku dirasa sudah tenang,
Mas Robet tak hentinya memberi motivasi kita agar berani kembali ke gedung
perpustakaan. Akhirnya kita sepakat untuk kembali ke sana, dengan syarat tidak akan
ada yang saling meninggalkan apa pun yang terjadi. Kita berjalan keluar aula,
melewati perkemahan yang tampak ramai. Di tengah perkemahan ada bekas api
unggun yang sudah padam. Percuma juga jika mereka aku panggil bahkan
teriak-teriak karena mereka takan mampu melihat kita.
Sesampainya di depan gedung
perpustakaan, Mas Robet dan Kevin saling melempar isyarat untuk membuka pintu
melalui mata. Aku dan Rani disuruh tetap berada di belakang mereka.
Perlahan-lahan pintu dibuka, udara sangat dingin berhembus dari dalam gedung ke
luar gedung. Kita sudah berada di dalam gedung perpustakaan. Tanganku digenggam
erat oleh Mas Robet, tangan Kevin sudah memegang erat tangan Rina. Terlihat di
dekat tangga naik ke lantai dua ada bayangan sosok orang yang sedang berdiri. Kaku,
dingin, dan kelihatannya tidak bersahabat. Kita berempat saling menatap, antara
takut untuk medekati sosok itu dan kembali keluar atau nekat mendekat apa pun
resikonya. Mas Robet menarikku, mengajakku mendekat. Dia seakan yakin sosok itu
tidak berbahaya atau mungkin dia sudah pasrah, apa pun yang terjadi akan dilewati. Kevin tak tinggal
diam, dia dan Rina mengikuti langkahku dan Mas Robet. Selangkah demi selangkah
membuat kencangnya detak jantung ini. Kaki rasanya lemas dan ingin menyerah,
tetapi benar yang apa dikatakan Mas Robet bahwa permainan ini harus segera
diselesaikan, kita sebagai peserta dipaksa mencoba tak menyerah.
Sudah sangat dekat dengan sosok
tersebut. Kita sudah sangat dekat dan saling menatap. Mataku terbelalak, sosok
itu adalah Andi. Andi dengan tangan terikat di belakang, kakinya pun juga
terikat. Andi menangis tapi tak bersuara, ternyata mulutnya terjahit. Iya,
benar-benar terjahit seperti Mas Rio dan Mas Toni. Tanganku bergemetar, tak
berani mendekat. Mas Robet memegang badannya dan Kevin mulai melepas ikatannya.
Mas Robet mendudukan Andi di tangga. Aku menangis di hadapan Andi, aku tidak
berani menanyakan apa yang terjadi. Mulutnya terjahit dan penuh darah,
bagaimana dia akan menjawab.
Andi memasukan tangannya di saku
belakang, sepertinya dia sedang mencari sesuatu. Kemudian dia mengeluarkan
kertas dan pensil. Dia menuliskan sesuatu di kertas itu, kita berempat menunggu
dengan gelisah.
HANYA INI YANG BISA AKU LAKUKAN,
INI CARA AGAR KALIAN BISA SELAMAT. AKU SUDAH CUKUP MENYUSAHKAN. SERIGALA MERAH
INGIN AKU TINGGAL DI SINI.
MER, AMBIL BUKU INI. BUKU INI
AKAN MENJELASKAN SEMUANYA DAN MENUNTUN KALIAN PULANG. JANGAN IKUTI AKU, BALIK
KE AULA DAN PULANGLAH.
SELAMAT TINGGAL SEMUA.
Kita berempat membaca pesan itu
bersamaan dan Andi memberikan buku kecil yang dia keluarkan dari saku celana
depan. Buku berwarna hitam polos dengan banyak bercak darah.
Kemudian Andi berdiri, menaiki
tangga, aku menangis, berteriak memanggil namanya, dia hanya menoleh dengan
mulut yang masih terjahit. Mas Robet dan Kevin menarikku. Menyeretku keluar
menuju pintu depan. Sepertinya mereka sepakat dengan pesan yang diberikan Andi.
Aku terus berteriak dan menangis. Aku yakin ini semua bukan mau Andi, ini semua
hanya keinginan sepihak Andi agar kita baik-baik saja. Nyatanya hatiku hancur,
kita memulai ini bersama dan terjebak bersama, seharusnya kita juga keluar
ruangan ini secara bersamaan. Andi apa pun yang kamu lakukan ini bodoh, ini
tidak nyata, seharusnya kamu bisa dan mau untuk melawan. Bukannya menyerah dan
pergi layaknya pahlawan untuk kita begitu saja.
Comments
Post a Comment