Bayangan Yesa menghilang dalam
gelap. Ruangan ini mendadak sepi. Hanya terdengar suara kipas angin tua dan
suara detak jantungku sendiri. Tiba-tiba Andi berdiri dari tempat duduknya,
berjalan menujuku. Sesampainya di depanku dia hanya tersenyum kemudian menatap
Rina dan Kevin.
“Apa kalian mau melanjutkan permainan ini?” Suara Andi sangat datar
dan dingin.
“AKU PENGEN PULANG! AKU PENGEN PULANG!” Rina berteriak ke arah
Andi. Mukanya sangat pucat, semangatnya sudah hilang, dia hanya ingin pulang.
“Kalau kamu berhenti sekarang, bisa saja setelah ini kamu kehilangan
Kevin. Yesa hanya ingin balas dendam, dendam yang dia bawa sampai mati” Jawab
Andi menuju arah Rina.
“Aku yakin tidak Cuma Rina yang ingin pulang ke rumah, tapi kalian
semua. Kita hanya perlu mencari senior kita yang sudah berbuat jahat kepada
Yesa. Tidak sampai di situ, kita juga cari Robet karena dia juga bertanggung
jawab atas Serigala Merah” Andi berjalan mengelilingi bangku kami. Menyentuh
pundak kami satu persatu.
“Oke, maumu sekarang apa? Kita sudah lelah dengan semua hal bodoh ini”
Kevin berbicara. Sudah terlalu lama dia diam, terlalu lama dia diselimuti rasa
ketakutan.
“Yesa akan terus mengawasi kita. Jadi sebelum aku memberi rencana ini
kepada kalian, ada hal yang perlu kalian tahu bahwa kalian harus menyelesaikan
ini. Jangan pernah punya pikiran untuk kabur, karena Yesa tak ingin dikecewakan
lagi” Langkah Andi berhenti di depan Kevin. Menatap tajam memberi
peringatan kepada Kevin agar tak punya pikiran untuk kabur.
Aku, Rina, dan Kevin saling
melempar tatapan. Tak ada waktu dan tak ada guna jika kami berdebat antara
mengikuti permainan ini atau tidak. Jalan terbaik adalah menyelesaiakan
permainan ini dengan cara mengikuti rencana Andi. Sepakat atau tak sepakat kita
cuma bisa pasrah.
“Yang sudah aku habisi adalah Ilham, berarti kurang Rio, Toni, Rudi,
dan Robet. Mereka sudah pasti sekarang ada di kampus ini karena mereka adalah
senior kita. Tapi kita tidak mungkin membunuh mereka bersamaan karena kita tak
mungkin mau melihat semua yang ada di kampus ini mengecap kita sebagai pembunuh.
Jadi sudah dua tahun aku merencanakan ini, aku sudah mempelajari setiap
bangunan kampus ini sebelum masuk menjadi mahasiswa kampus ini” Andi
melihat kami satu per satu, layaknya sebagai pemimipin operasi rahasia dia tidak
seperti Andi yang punya penyakit jantung.
“Kalian pakailah ini, selain untuk menutupi wajah kalian ini juga
bersejarah untuk Serigala Merah” Andi memberikan kami satu per satu topeng
yang terbuat dari kertas. Topeng yang sama dibuat oleh mahasiswa yang hilang
dalam ruang kelas.
“Terus kita bunuh mereka dengan apa? Tangan kosong? Kita keroyok?”
Kevin mulai kesal.
“Kita hanya menyiapkan proses kematian untuk mereka. Selanjutnya adalah
tugas Yesa yang akan menghabisi mereka” Jawab Andi dengan santai yang terlihat
seperti membunuh adalah kebiasaannya.
“Oke rencana awal seperti apa?” Tanyaku kepada Andi dan Andi
langsung menatapku.
“Kita jebak langsung 2 orang sekaligus, Rio dan Toni. Mereka selalu
bersama jadi ada kesempatan untuk menghabisi mereka secara bersamaan. Rencananya
adalah Kevin dan Rina keluar dari gedung ini. Cari mereka berdua dan giring
mereka masuk ke lantai dua gedung ini. Mereka berdua doyan banget sama wanita,
jadi mungkin Rina akan lebih berperan kali ini” Jawab Andi dengan senyum liciknya.
“JANGAN KURANG AJAR!!! KAMU PIKIR RINA WANITA MURAHAN!!!” Teriak
Kevin dengan tangan menarik kerah baju Andi, dan Andi hanya membalas dengan
senyum.
“Terserah kamu Kevin, kamu ingin melihat mereka tersiksa di sini dengan
hal-hal yang tidak masuk akal manusia normal? Atau kamu ingin menjalankan
permainan ini dan bersikap professional agar semua ini segera berakhir? Semua
pilihan dan tindakan ada di tanganmu” Andi membuat Kevin semakin kesal.
Kevin melepaskan genggamannya di kerah baju Andi dan teriak mengerang sangat
keras sekali.
“Sudah, sudah!! Kevin denger!! Aku sudah capek, aku yakin bisa. Aku
bukan wanita murahan, aku lebih pintar dari pada itu. Kamu harus percaya aku”
Rina coba menenangkan Kevin dan sepertinya di otak Rina sudah ada ide untuk
menjebak Rio dan Toni.
Sekitar 5 menit Aku dan Andi
memberi kesempatan Rina dan Kevin bicara berdua. Entah untuk menyusun rencana
atau untuk saling menenangkan. Aku menatap Andi, tatapannya tertuju kepada
Kevin dan Rina yang sedang berdebat.
“Apa soal kamu punya penyakit jantung itu hanya sandiwara?” Entah
apa yang aku tanyakan, aku hanya mencoba agar di samping Andi seperti ini tak
terasa dingin.
“Tidak, aku memang punya penyakit jantung. Dan malam ini penyakit
jantungku sedang bersahabat untuk melakukan balas dendam” Andi tidak
menatapku ketika menjawab pertanyaan. Tatapannya masih tertuju di Rina dan
Kevin.
“Apa hubunganmu dengan Yesa? kenapa kamu begitu peduli dengannya?” Mulutku
dan nyaliku rasanya lagi brengsek-brengseknya, tak mau menahan rasa penasaran.
“Kebenaran harus dibuka. Yang gelap harus menjadi terang. Bagimanapun
caranya” Andi tidak menjawab pertanyaanku dengan benar. Menurutku
jawabannya ini hanya pengalihan saja. Dan kali ini mulutku tak bisa menolak
jawaban itu dan hanya mengiyakan jawabannya saja. Mungkin nyaliku takut untuk
membuat dia marah.
Ingin menanyakan beberapa
pertanyaan lagi tetapi Rina dan Kevin sudah kembali dari saling debatnya dan
menunjukan paras setuju untuk memulai rencana Andi. Kemudian Andi berjalan,
baunya wangi padahal tubuhnya penuh keringat dan darah. Kami mengikuti Andi
keluar gedung perpustakaan menuju lantai bawah. Selama perjalan aku tak
menengok ke belakang ke arah Rina dan Kevin. Aku hanya menguping pembicaraan
mereka. Yang aku dengar mereka sedang membicarakan rencana yang akan dilakukan.
Sesampainya di lantai bawah mereka masih saling berdebat. Aku mulai tidak yakin
dengan mengirim mereka berdua keluar gedung ini akan bisa membawa masuk Rio dan
Toni.
Sesampainya di depan pintu lantai
bawah, Andi membukakan pintu dan berpesan apa pun yang terjadi dan bagaimana
pun caranya kalian harus membawa Rio dan Toni masuk ke sini. Andi juga
mengingatkan mereka untuk tidak punya pikiran kabur karena Yesa akan selalu
mengawasi langkah kalian.
Pintu ditutup kembali oleh Andi.
Andi menggandeng tanganku, aku gemetar. Tangannya sangat dingin. Dia hanya
berkata “Aku ingin bicara banyak denganmu”.
Andi mengajakku duduk di tangga lantai satu. Aku duduk di sampingnya, wajahnya
mulai bersahabat dan dia tampak begitu kelelahan. Dia menggenggam tanganku
sangat erat, dia menangis. Aku bingung, aku tanya kenapa tapi dia enggan
menjawab.
“Aku takut, aku takut” Andi berulang kali mengucap itu. Aku semakin
bingung, apa yang terjadi dengan Andi?
“Andi udah jangan nangis dan jawab kamu kenapa?” Aku peluk Andi,
kali ini dia bukan andi yang punya senyum licik seperti di atas atau Andi yang
tega membantu Yesa untuk membunuh seseorang.
“Mer, maaf kalau aku membuat kalian semua sengsara. Aku juga tak ingin
begini, tetapi aku tak bisa menolak” Suara Andi sangat pelan, bercampur
tangisan menjadi sulit didengar.
“Udah Ndi, jangan nyalahin diri sendiri. Aku sampai sekarang juga masih
bingung dengan semua ini. Aku juga nggak nyangka kamu bisa ngelakuin semua ini”
Aku mencoba menenangkan Andi dengan harapan dia berhenti menangis dan bisa
menjelaskan lebih banyak yang sedang terjadi.
Dan kelihatannya omonganku
berhasil. Andi diam dan tak menangis, tubuhnya kembali duduk dengan tegap di
sampingku. Dia melepaskan genggamannya dan mulai berdiri kemudian menyuruhku
memakai topeng yang sudah diberikannya tadi.
“Sebelum Rina dan Kevin kembali, mari kita siapkan proses kematian
untuk Rio dan Toni” Yang awalnya sudah cukup tenang ketika melihat Andi
menangis, tiba-tiba tubuhku kembali gemetar. Rasa-rasanya aku ingin melihat
Andi menangis lagi karena itu lebih bersahabat untukku saat ini.
Aku menuruti perkataan Andi. Aku
pakai topeng itu, Andi pun juga. Dia berjalan mengajakku ke lantai dua dan
masuk ke dalam salah satu ruangan. Di meja ruangan tersebut aku melihat sudah
tesusun rapi Boneka, sebotol air, dan jarum beserta benang.
“Kita tunggu di sini, Yesa akan menuntun Rina masuk ke sini” Andi
sangat yakin bahwa Rina dan Kevin akan menemukan keberadaan kami di sini.
Selang beberapa lama terdengar
suara orang berjalan dan tertawa-tawa menaiki lantai dua. Terdengar suara
wanita dan beberapa suara pria. Aku sangat yakin suara wanita ini adalah Rina,
tetapi aku tak bisa menebak suara pria-pria tersebut. Ruangan ini lumayan besar,
mungkin ada sekitar 50 bangku. Aku dan Andi duduk bersila di pojok ruangan.
Andi menundukan kepala dari tadi, aku tak bisa melihat raut wajahnya karena
kita sama-sama menggunakan topeng.
Akhirnya gerombolan yang
tertawa-tawa tadi masuk ke ruangan. Pintu ruangan tiba-tiba tertutup rapat. Aku
mengintip dari sela-sela bangku. Aku melihat kedua pria itu mencoba membuka ,
tetapi aku tak melihat Rani. Apakah Rani yang menutup pintunya dari luar?
Kemudian lampu ruangan yang menyala mulai redup dan berubah menjadi berwarna
merah. Andi memberiku tanda untuk berdiri.
“Selamat datang Rio dan Toni, apakah kalian sehat?” Tanya Andi
kepada Rio dan Toni. Terlihat Rio dan Toni masih mencoba membuka pintu tetapi
tak berhasil.
“WOY KAMU SIAPA? KAMU NGGAK TAU SIAPA AKU? BANGSAT!!” Salah satu
dari mereka mencoba berteriak melawan. Mereka memang pemberani. Aku melihat
wajah mereka marah tanpa ada rasa ketakutan.
“Aku sangat kenal kamu Rio. Aku mencari kamu setelah Yesa menceritakan
semua perbuatanmu terhadapnya. Malam itu kamu begitu bahagia menyiksa Robet dan
memperkosa Yesa. Bukan Cuma perasaan sukamu terhadap Yesa yang bertepuk sebelah
tangan karena Yesa lebih memilih Robet dari pada kamu. Tetapi aku di sini ingin
balas dendam dan menghentikan yang sudah kamu mulai, yaitu Serigala Merah” Rio
dan Toni saling menatap, wajah sangar mereka mendadak hilang berubah menjadi
pucat.
Belum sempat mereka melakukan
pembelaan atau menjelaskan sesuatu, tiba-tiba bangku di ruangan ini melayang
dan satu per satu menghantam tubuh mereka. Mereka tersungkur di lantai, tetapi
tak henti-hentinya bangku-bangku tersebut menghantam secara bergantian hingga
bangku-bangku tersebut menutupi tubuh mereka. Secara perlahan bangku-bangku itu
bergerak dengan sendirinya kembali ke tempat asal dan sangat rapi seperti
semula. Andi menggandeng tanganku dan berjalan menuju Rio dan Toni yang sudah
tak bergerak di lantai. Andi menghentikan langkahnya dan aku melihat Rio dan
Toni mengerang kesakitan. Tubuh mereka berdua terangkat dengan sendirinya,
melayang hingga menempel di papan tulis. Andi berjalan menuju meja yang aku
lihat tadi ada boneka, sebotol air, dan jarum beserta benang.
Andi mengambil jarum dan benang, berjalan
menuju Rio dan memegang bibir Rio kemudian menusuk bibirnya. Aku lihat Rio
ingin berteriak tetapi genggaman Andi sangat mistik seperti membuat Rio hanya
pasrah membiarkan mulutnya dijahit.
“Bantu aku” Andi menatapku. Menyuruhku untuk membantu menjahit
bibir Toni. Aku menggelengkan kepala, aku mencoba mundur. Tetapi tiba-tiba
tubuhku bergerak sendiri berjalan menuju meja tempat jarum dan benang. Aku
ingin berteriak tetapi mulutku juga ada yang menahan sangat rapat. Aku berjalan
pelan menuju Toni, sudah aku coba untuk melawan tetapi percuma. Kekuatanku mendadak
hilang dan seperti ada yang menggantikan. Sampainya di depan Toni, aku
melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Andi yaitu menjahit mulutnya.
Aku bertatapan langsung dengan Toni, aku bisa merasakan keringatnya yang terus
keluar, darah yang menetes deras dari kepalanya karena dihantam bangku-bangku
tadi, dan aku juga bisa melihat air mata ketakutan mohon ampun. Aku pun hanya
bisa menangis. Aku mencoba tak melihat Toni dan membuang tatapanku tetapi tak
bisa. Yang mengendalikanku memaksa untuk melihat proses menjahit.
Dimana Rina? Tiba-tiba aku
kepikiran Rina dan Kevin. Aku yakin suara wanita yang aku dengar tadi adalah
Rina. Tetapi aku tak melihat dia sama sekali. Pikiranku buyar ketika darah Toni
mulai mengalir ke sikuku. Air matanya bercampur darah, dia tak bergerak. Apakah
dia pingsan karena tak kuat menahan sakit? Atau apakah dia mati? Dan kalau dia
mati, apakah aku seorang pembunuh?
Comments
Post a Comment