“Mary bangun! Mary bangun!” seseorang memanggil namaku dan menggoyang-goyangkan badanku. Tapi mataku enggan untuk terbuka, dadaku masih terasa sesak. Suara-suara berisik dan panik seperti berputar-putar di kepalaku. Perlahan aku membuka mata, terlihat muka Kevin dan Rina yang begitu panik. Kevin menyuruhku duduk, pikiranku masih berat untuk mengingat apa yang terjadi. Badanku lemas dan aku melihat kakiku tak berbekas luka sedikit pun. Aku sedikit lega, kali ini seseorang bisa melihat keberadaanku. Dan aku berharap semua yang aku lihat adalah mimpi, mimpi yang tak ingin aku ulangi lagi.
“Mary kamu ngga papa kan?” Tanya Rina dengan air mata yang
terus mengalir.
“Aku pusing, aku habis mengalami kejadian aneh
sekali” Jawabku
dengan memegang kepala yang terasa berat.
“Kevin menggendongmu sampa sini, pintu ini
terkunci. Pasti Mas Robet yang membawa kuncinya!” Teriakan Rina dipenuhi rasa benci yang melihat
Mas Robet tega meninggalkan kita sekarang.
Aku melihat
sekitar, ini adalah lantai satu gedung perpustakaan. Aku ada di depan pintu
besar gedung ini. Kevin masih saja berusaha mendobrak, dan juga tak
henti-hentinya dia berteriak meminta pertolongan. Sepertinya percuma, teriakan
Kevin tertutup oleh suara hujan disertai petir di luar.
“Terus Mas Robet di mana sekarang?” Tanyaku dengan memegang pundak Rina.
“Di perpus, dia menyeruh kita turun membawamu.
Dan ternyata pintu ini terkunci” Jawab Rina terengah-engah mungkin akibat turun dari lantai tiga sampai
ke sini.
Angin pelan
berhembus menggerakan rambutku, angin ini membuat hawa di sekitar semakin
dingin. Bersamaan dengan datangnya angin, ada suara yang seperti melewati
telingaku. Suara wanita itu berkata “Ayo
naik ke atas, permainanmu belum selesai”.
“Kamu denger ngga? Tadi barusan ada yang
ngomong” Tanyaku ke
Rina dengan mata melotot.
“Ngomong apa? Dari tadi yang aku dengar cuma suara
hujan di luar dan teriakan Kevin minta tolong” Rina balik menatapku, merasa aneh dengan
pertanyaanku.
“Masak cuma aku yang denger? Tadi ada suara
cewek yang nyuruh kita naik keatas, katanya permainan belum selesai” Mukaku tegang, aku teringat
kejadian sebelum aku terbangun dari tidurku. Beberapa kali aku mendapatkan secarik
kertas yang bertuliskan ajakan untuk bermain.
Aku
berdiri, memegang pundak Kevin. Menyuruhnya berhenti berusaha mendobrak pintu
gedung ini. Rina ikut berdiri, menggenggam erat tanganku. Pasti dia juga
menyadari ada kecemasan di wajahku.
“Kenapa Mer?” Kevin berhenti mendobrak, dia seperti orang
kebingungan dengan tingkahku.
“Ini semua ngga akan selesai kalau kita
berusaha lari. Selama aku pingsan seperti kata kalian, aku mengalami beberapa
kejadian yang nggak masuk akal tetapi saling berkaitan. Aku bukan penggemar
hal-hal berbau ghaib seperti ini. Tapi ada keyakinanku bahwa semua ini adalah
permainan yang harus kita selesaikan”. Aku mencoba menjelaskan kepada Rina dan
Kevin. Aku berharap mereka tak berpikir aku sudah gila setelah pingsan. Tetapi
aku yakin semua ini ada kaitannya.
“Iya, sebelum kita mengalami semua kejadian
aneh ini, aku adalah orang yang pertama melihat makhluk-makhluk itu. Aku adalah
orang yang melihat penghuni di sini. Aku tak pernah setakut ini, ada kekuatan
jahat yang sangat membenci kita. Jadi memang kita harus menyelesaikan apa yang
kita mulai” Rina
menyetujui, tangannya sangat kuat menggenggam tanganku. Kevin hanya tetap diam,
sepertinya dia masih mencoba mencerna apa yang kita bicarakan.
“Jadi kita harus balik ke atas? Mer di atas itu
udah nggak ada yang beres! Mas Robet mungkin melarang kita untuk ke sana. Lebih
baik kita nunggu di sini sampai Mas Robet dateng” Kevin menolak, akhirnya dia membuka mulut dan
bertolak belakang dengan pendapat Rina.
Aku dan
Rina diam dan saling melempar pandangan. Ada isyarat yang kita saling lempar
bahwa aku dan Rina meyakini semua kejadian aneh ini ada kaitannya dan mungkin
karena ulah kita.
“Yang, kalau kamu mau nunggu di sini silahkan.
Karena aku sudah capek tersiksa gini, yang harus kita lakukan sekarang adalah
melawan bukan diam”
Rina menatap Kevin, genggamannya dilepaskan dariku dan berganti menggenggam
tangan Kevin. Dia sedang meyakinkan apa yang dia yakini denganku bahwa itu
benar.
“Oke…oke bukan saat yang tepat untuk memulai
perdebatan. Dan karena aku di sini merasa bertanggung jawab dengan keselamatan
kalian, aku akan ikuti semua rencana kalian. Tapi Mer, apa kamu udah punya
rencana? Kita nggak mungkin naik aja dengan membawa percaya diri dan keyakinan
tanpa adanya rencana”
Kevin yang aku kenal di hari pertama MOS dan menjadi pasangan paling romantis
di kampus dan pria yang suka bercanda kali ini benar-benar memasang muka
serius.
“Kevin, aku nggak punya rencana apa-apa. Yang
aku yakini sekarang kita harus ke atas, bertemu Mas Robet dan menanyakan ini
semua. Karena setiap bagian yang aku lihat di saat tak sadarku tadi selalu ada
Mas Robet. Mas Robet adalah poros dari masalah ini” Sekali lagi aku meyakinkan Kevin, walaupun dia
sudah menyetujui pendapatku dan Rina tapi aku yakin dia masih ragu.
“Baiklah aku semakin nggak ngerti apa yang kamu
omongin. Aku juga udah ngga bisa mikir sekarang, yang aku pikirkan adalah
keselamatan kalian berdua” Jawab Kevin dengan tegas dan kali ini aku bisa melihat dari matanya dia
hanya pasrah.
Aku
menganggukan kepala, memberi tanda mereka kalau kita harus mulai jalan
meninggalkan tempat ini menemui Mas Robet di atas. Setapak demi setapak kita
lewati, tidak ada gangguan sedikit pun. Hanya lampu yang remang, udara dingin,
dan suara hujan serta petir yang saling bergantin menemani langkah kami. Lantai
satu aman, berhasil kita lewati. Menginjakan kaki di lantai dua tiba-tiba aku teringat
dengan Andi! Aku menghentikan langkahku, begitu juga dengan langkah Kevina dan Rina
terpaksa berhenti karena mereka berjalan beriringan di belakangku.
“Andi mana?” Aku berbalik ke arah Kevin dan Rina. Mereka
saling menatap.
“Andi menghilang, tadi waktu aku membawamu
turun ke lantai dasar, aku sudah berteriak memanggil nama dia. Tapi ngga ada
respon balik” Jelas
si Kevin yang juga kebingungan dengan keberadaan Andi.
“ Mer, kita naik dulu aja, kita temui Mas
Robet. Setelah itu kita cari Andi. Kita harus fokus satu-satu dulu” Rina meyakinkanku dan aku
mengangguk tanda setuju, walau beban pikiranku bertambah bertanya-tanya tentang
keberadaan Andi.
Kita
meneruskan perjalanan. Bukan perjalanan yang jauh, tapi perjalanan ini terasa
amat panjang. Mungkin karena aku sudah kelelahan. Lantai dua pun kita lewati
tanpa adanya hambatan. Ruang-ruang kosong yang kita lewati juga tidak terjadi
hal aneh, hanya langkah kaki kita yang terdengar.
Sesampainya
di lantai tiga, inilah lantai terakhir dan lantai tujuan nekat kita.
Sesampainya di depan pintu perpustakaan, kita bertiga saling menatap. Saling
meyakinkan dan memberi semangat bahwa kita siap untuk masuk ke dalam. Kevin
membuka pintu perpustakaan, tidak terkunci dan tidak hancur seperti yang aku
lihat ketika Andi berhasil merobohkan pintu itu sendirian. Kevin berada di
depan, aku dan Rina mengikutinya. Langkah Kevin berhenti, dia menunjuk ke arah
depan. Aku mendekati Kevin. Aku melihat Mas Robet dan Andi duduk berhadapan, mereka
saling tatap tetapi tidak saling berbicara. Rina meraih lengan Kevin, mukanya
pucat ketakutan. Sepertinya dia melihat sesuatu tetapi tidak bisa diungkapkan,
dia lebih memilih menangis. Aku berjalan mendekat, begitu juga Kevin dan Rina
mengikutiku.
“BERHENTI!” Teriakan Andi membuat berhenti langkah kami
dan membuat kita tidak bisa berkata apa-apa.
“Silahkan kalian duduk” Andi menatap kita dan tiba-tiba ada
tiga kursi yang bergerak dengan sendirinya mendekati Aku, Kevin, dan Rina.
Kita semua
mengikuti kata Andi. Ada perasaan lega ketika melihat Andi baik-baik saja
tetapi ada perasaan takut dengan nada bicaranya. Kelopak matanya terlihat lebih
gelap, bahkan cenderung berwana hitam seperti orang tidak tidur berhari-hari.
Kulitnya lebih pucat dari pada orang normal.
“Maaf sudah membawa kalian di semua hal gila
ini. Mungkin kalian berpikir tak masuk akal. Tapi semua sudah terjadi. Kita
sudah dipilih untuk meneruskan tradisi Serigala Merah. Dan mungkin kita adalah
penerus terakhir”
Andi menatap kita bertiga secara bergantian. Mas Robet tak bergerak sedikitpun
apa lagi menoleh ke arah kita.
“Maksud kamu apa ndi?” Kevin memberanikan diri bertanya.
“Serigala Merah bukan seperti yang kalian
pikirkan. Kita bukan sekedar kelompok biasa yang dipilih karena kita saling
kenal. Tapi di balik itu ada beberapa orang yang berniat meneruskan tradisi
ini. Serigala Merah adalah wadah sekelompok orang yang ingin membuktikan
sesuatu. Sesuatu yang bisa menghubungkan dunia manusia dan dunia yang tak kasat
mata. Serigala Merah adalah sekte gelap tentang penyembahan iblis yang sudah
lama mati. Kita sebagai calon pengikutnya bertugas membebaskan semua iblis yang
terikat di neraka. Ada tiga element penting untuk mewujudkan itu semua” Andi memejamkan mata, mulutnya tak
terbuka lebar tetapi suaranya cukup keras untuk membuat bergema seluruh
ruangan.
Aku diam
mencoba menarik benang merah dengan semua yang sudah aku alami. Andi
membicarakan tiga hal penting di Serigala Merah. Dan tiga hal itu terus-terusan
berputar di kepalaku. Aku mencoba mengingat dari kejadian pertama. Di kejadian
pertama mahasiwa baru diberi tugas yang hampir sama denganku, bedanya mereka
membuat topeng. Setelah topeng itu jadi mereka menghilang entah kemana.
Kejadian kedua adalah kejadian paling tak mengenakan. Ketika aku melihat Yesa
diperkosa dan Mas Robet dipukul habis-habisan tak berdaya. Aku tak bisa menarik
hal penting dari kejadian itu, yang aku tahu kejadian itu sungguh biadab.
Membuat boneka, itu yang kita kerjakan dan setelah itu menimbulkan semua
masalah ini.
“Topeng, boneka, dan Yesa” Entah ada hal apa yang mendorongku
untuk bicara seperti itu. Tapi itu yang aku pikirkan setelah Andi berbicara
tiga hal penting tersebut.
“Kamu benar, topeng dan boneka. Tapi tiga hal
penting bukan Yesa, tapi lebih ke nyawa anggota Serigala Merah” Andi menatapku dan tersenyum. Dia
merasa tak sia-sia sudah habis-habisan menyeretku dan membawaku ke masa lalu.
Ternyata dia tidak salah membawaku untuk merangkai cerita yang hilang.
“Aku capek, aku pengen keluar dari sini!!” Teriakan Rani diiringi tangisan dan
Kevin hanya bisa menenangkan lewat kata-kata dari tempat duduknya.
“Kita selesaikan ini bersama, aku sudah
membereskan satu orang. Kita hentikan ritual ini. Walaupun sudah terlambat
pantas kita coba”
Andi kemudian diam. Tatapannya tajam ke arah tubuh yang terduduk kaku di kursi
depannya.
“Kamu membunuh Mas Robet?” Tanyaku penasaran, apa yang Andi
lakukan pada pria yang terduduk membelakangiku.
Tiba-tiba
kursi yang di duduki pria itu bergetar. Angin yang sama seperti di lantai bawah
tadi berhembus lagi. Perasaanku mulai tak enak, Rina semakin keras menangis.
Kursi itu bergetar kencang hingga menggerakan tubuh pria tersebut. Tapi
mendadak kursi berhenti bergetar, angin berhenti berhembus, dan Andi menundukan
kepalanya. Di suasana yang semakin mencekam, tangisan Rina tiba-tiba berhenti,
kepala pria itu berputar menghadap ke arah kami dan terdengar suara tulang
leher pria itu patah.
“Dia bukan Mas Robet” Suara wanita yang sudah tak asing
buatku tapi mungkin asing buat Rina dan Kevin. Sosok Yesa muncul dari belakang
Andi. Yesa muncul dari kegelapan membawa bau anyir. Mukanya yang penuh darah,
senyumnya yang mirip dengan pembunuh sadis film horror itu berdiri tepat di
belakang Andi yang masih menundukan kepalanya. Aku teringat, pria tersebut
adalah salah satu yang memperkosa Yesa malam itu dan aku ingat bahwa semua yang
memperkosa Yesa adalah seniorku di kampus ini. Tapi mengapa Mas Robet diam?
Padahal dia tahu pelakunya. Dan sekarang Mas Robet di mana?
“Kalian masih punya tugas harus kalian lakukan untuk
mengakhiri Serigala Merah” Yesa meneruskan bicaranya, nada bicaranya semakin lama semakin berat.
Aku, Rina,
dan Kevin saling menatap. Aku melihat Rina yang hanya bisa pasrah. Dari
tatapannya selain ada ketakutan, ada sesuatu yang ingin dia sampaikan ke aku.
Kevin juga menatapku, dia seperti kehilangan suara untuk mengambil sebuah
tindakan. Aku kembali menatap Yesa, dia hanya tersenyum. Di pikiranku sekarang
adalah apakah kita semua harus menjadi pembunuh untuk mengakhiri Serigala Merah
ini?
Comments
Post a Comment