Aku perlahan berdiri, kakiku lecet penuh luka. Diseret dari depan ruang
kelas hingga memasuki kamar mandi lagi. Aku melihat ke belakang, orang yang
menarikku tak terlihat. Aku mendekatkan muka ke kaca, di sekitar kening terasa
perih. Aku melihat ada luka gores, mungkin karena pecahan kaca di
jendela.Tiba-tiba pintu bilik kamar mandi terbuka perlahan, suaranya seperti
film horor-horor ketika makhluk tak kasat mata membuka pintu untuk
menakut-nakuti tokoh utama. Tanpa menoleh, hanya dengan melihat di kaca tak
terlihat sosok apa pun di salah satu bilik di belakangku. Hanya bau anyir mulai
tercium. Bau itu aku sangat yakin berasal dari bilik-bilik tersebut. Tapi
tubuhku tak aku biarkan nekat masuk ke salah satu bilik hanya untuk mencari
sumber bau ini, yang aku pikirkan hanya berlari. Bau semakin menyengat dan
tubuhku mulai memberikan kode untuk berlari secepat yang aku bisa. Tapi
permintaan tubuhku tak aku tepati, aku hanya perlahan-lahan menjauh dari depan
kaca dan menuju pintu keluar. Sesampainya di depan pintu aku pegang gagangnya,
sangat dingin dan terdengar hujan sangat lebat di luar. Aku buka dengan cepat
pintu kamar mandi, dan mataku tak bisa berkedip ketika di depan mataku ada pria
berbadan hitam, dengan mata merah menyala. Belum sempat aku berteriak atau
menerobos tubuhnya, tiba-tiba dia berteriak sangat kencang. Suaranya sangat
keras, hingga menggema. Aku jongkok, menutup telingaku, dan memejamkan mataku.
Hingga mulutku pun terbuka, aku ikut berteriak. Iya aku berteriak karena
benar-benar ketakutan. Teriakanku ternyata berhasil membuatnya berhenti
berteriak, aku pun berhenti berteriak. Suasana di sekitar kembali sepi. Aku
buka mataku, aku langsung berdiri, menengok ke segala arah memastikan suasana
aman. Aku tahu tempat ini, ini adalah lantai satu ruang perpustakaan. Bagaimana
aku bisa sampai di sini tanpa berjalan menuruni tangga? Dan suasana lantai satu
kembali seperti ketika aku berada di lantai dua sebelum mahasiswa itu tertarik
ke dalam ruang kelas kemudian menghilang. Lampu-lampu setiap ruangan menyala
sangat terang, banyak mahasiswa yang membawa buku berjalan sambil ngobrol
bahkan bercanda dengan temannya. Terdengar suara dari speaker bahwa seluruh
mahasiswa diminta ke aula untuk mendapatkan penyuluhan. Aku kembali sadar ini
adalah ospek mahasiswa baru tapi yang aku lihat mereka bukan mahasiswa dari
angkatanku atau angkatan sebelumku. Aku mengikuti langkah mahasiswa-mahasiswa
baru ini menuju aula. Di sepanjang perjalanku menuju aula, aku melihat sekitar.
Hanya pepohonan besar. Pepohonan besar ini seharusnya sudah tidak ada, harusnya
di situ adalah lapangan kampus. Entah sekarang tahun berapa, aku yakin ini
kampusku tapi bukan tahunku.
Sesampainya di aula aku duduk di belakang ruangan. Seperti ospek yang
aku alami, mereka disuruh membuat kelompok. Tapi kali ini berbeda, mereka tidak
dipisah-pisah per kelompok sepertiku dan mengerjakan tugas kelompok mereka di ruangan yang ditentukan panitia
ospek. Ternyata di luar dekat pepohonan besar itu
sudah dibangun kemah-kemah sebagai tempat menginap para mahasiswa baru. Semua
mahasiswa berbondong-bondong menuju perkemahan tersebut. Di masing-masing tenda
sudah tertulis nomer-nomer. Mahasiswa baru ini mulai membentuk kelompok dan
mencocokan nomer yang ada di kertas yang diberikan panitia dengan nomer yang
ada di tenda. Pandanganku teralihkan ketika ada segerombolan mahasiswa lewat di
belakangku menjauh dari perkemahan. Aku mengawasi mereka, mereka menuju gedung
paling belakang kampus ini. Gedung yang berdiri megah tersebut adalah gedung
perpustakaan kampusku. Ada perasaan yang mendorongku untuk mengikuti mereka.
Mereka memasuki gedung itu dengan tergesa-gesa. Sesampainya di dalam gedung
mereka sosok pria dan wanita. Sosok pria dan wanita tersebut wajahnya tak asing
buatku. Semakin mendekat aku tersadar bahwa pria itu adalah Mas Robet dan
wanita itu adalah Yesa. Mereka tampak begitu akrab, aku melihat tangan Yesa
menggenggam tangan Mas Robet dengan mesranya.
“Cie pacaran mulu nih” Celetukan bernada mengejek Mas Robet dan Yesa. Mas Robet dan Yesa
hanya menjawab dengan senyum.
“Karena kalian sudah datang dan kalian juga sudah
aku jelasin tujuan kita di sini apa, sekarang aku tak mau banyak menjelaskan.
Dari beberapa mahasiswa yang kalian temui apakah ada yang cocok untuk dijadikan
tumbal kita?” Tanya mas Robet kepada keempat orang di
depannya. Dan jantungku langsung berdetak cepat ketika mendengar kata Mas Robet
soal tumbal ini.
“Ngga ada sih, tapi mungkin kita naik ke atas dulu
aja, ada yang ingin aku sampaikan sama kamu Bet” Salah satu dari keempat orang tersebut maju ke depan, berdiri
tepat di hadapan Mas Robet.
Mas Robet cuma mengiyakan, Yesa cuma diam. Mereka
berenam berjalan menuju ke atas. Tanpa saling berbicara hanya beberapa kali
keluar dari mulut Yesa kalau dia bilang takut dan Mas Robet selalu menenangkan
dengan nada sayang. Sebuah fakta yang tak bisa kubantah melihat kejadian ini
bahwa Mas Robet dan Yesa pasti punya hubungan yang dekat. Sesampainya di
perpustakaan, salah satu dari mereka menutup pintu dan menguncinya. Tiba-tiba
ada suara teriakan Yesa dan terdengar suara seperti orang berkelahi. Aku
berlari mendekati mereka. Dan di sana aku melihat Mas Robet sudah tersungkur.
Yesa dipegang erat oleh salah satu dari mereka, kedua orang lainnya mengeroyok
Mas Robet dan salah satu orang masih berjaga-jaga di depan pintu perpustakaan.
Ketiga orang tersebut mengikat tangan Mas Robet dan Yesa.
“Robet denger ya, kita berempat lebih berhak
memutuskan dan menentukan siapa yang bakal jadi tumbal Serigala Merah. Seperti
buku pedoman yang kita baca, untuk membangkitkan Serigala Merah perlu
mengorbankan salah satu anggota kita atau orang mau dengan ikhlas menjadi
tumbal. Dan kamu harus tau, di awal kita punya niat membentuk Serigala Merah
cuma Yesa yang tak pernah ada gunanya!” Salah
satu orang yang tadi berbicara dengan Mas Robet di bawah berbicara sangat keras
dan terlihat murka.
“Dan kamu harus tau, aku sudah mengincar Yesa dari
pertama kali masuk kampus ini. Tapi apa! Dia lebih memilihmu dari pada aku!” Belum Mas Robet menjawab, orang ini tak berhentinya marah-marah
sambil menjambak rambut Mas Robet yang mukannya sudah penuh darah.
Yesa terus menangis, tak henti-hentinya dia
mengucapkan ampun kepada ketiga orang tersebut. Ketiga orang tersebut saling
menatap satu sama lain, seperti sudah ada yang direncanakan. Akhirnya mereka
memaksa Yesa untuk tidur di depan Mas Robet, salah satu dari mereka memegang
Mas Robet dari belakang, sementara yang lain melucuti baju Yesa. Aku seperti
tertahan, beberapa kali aku meneriaki mereka dan mencoba melangkah jauh lebih
dekat tetapi seperti ada yang menahan kakiku. Aku hanya bisa panik dan aku
hanya diperbolehkan melihat Yesa diperkosa bergantian tanpa bisa membantunya,
Aku melihat Mas Robet menangis, ingin berontak tapi badannya sudah terlalu
lemah untuk melakukan itu.
Puas menodai Yesa salah satu dari mereka
mengeluarkan belati, menancapkan tepat di jantung Yesa. Yesa merintih
kesakitan, mereka berempat membentuk lingkaran mengelilingi Yesa, membiarkan
Yesa sekarat dan kehabisan darah. Mas Robet sudah terlanjur pingsan antara
tidak kuat menahan sakitnya dan tidak tega melihat Yesa. Mereka seperti
mengucapkan mantra yang aneh, Yesa terlihat sudah sangat sekarat dan akhirnya
tidak bergerak. Keempat orang ini saling menatap dan salah satu orang
mengucapkan “Untuk kebangkitan Serigala Merah” dan yang
lain mengulang kata tersebut.
Setelah itu mereka memakaikan kembali baju Yesa dan
aku terkejut luka belati di dada Yesa hilang begitu saja. Mereka menggendong
Yesa keluar ruang perpustakaan dan melemparkan tubuhnya ke bawah. Tiba-tiba
kakiku bisa digerakan, aku berlari menuju Mas Robet berkali-kali aku memanggil
namanya dan mencoba menggerakan badannya tetapi sia-sia, semua sentuhanku
menembus tubuhnya. Aku menengok ke arah ke empat orang tersebut memastikan
mereka tak kembali memasuki ruangan perpustakaan. Dan waktu aku berbalik ke
arah Mas Robet, dia sudah membuka mata dengan wajah penuh darah. Mas Robet
melihatku, menatap tajam. Belum sempat aku menanyakan keadaannya, tiba-tiba aku
dicekik. Mas Robet menindihku dan meremas leherku sangat kuat. Aku kesulitan
bernapas, dadaku sesak, mataku kehilangan cahaya hanya ada gelap. Jadi ini
rasanya mati.
Comments
Post a Comment